Pertama yang harus diperhatikan disini
adalah, siapa sih Tuhan? Tanpa jelas apa itu Tuhan, maka kita
membicarakan sesuatu yang bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Paijo
mengatakan kalau kita ia tinggal di Bandung. Temannya, Poniran,
memprotes karena ia tidak tinggal di Bandung. Tapi jelas Paijo benar,
karena yang dimaksud Bandung oleh Paijo adalah rumah kapal di sungai
Kapuas, Kalimantan Barat. Di sana rumah kapal disebut Bandung. Poniran
juga benar, karena apa yang ia maksud adalah kota Bandung, ibu kota
Jawa Barat. Tapi keduanya bertengkar karena semata berbeda pengertian
dari kata Bandung.
Begitu
juga, Tuhan yang dibicarakan oleh Hawking berbeda dengan Tuhan yang
dibicarakan oleh pemuka agama Islam, kristen, yahudi, dsb. Bagi
Hawking, ia menyindir Tuhan yang dipakai sebagai penjealasan atas
fenomena alam. Baginya Tuhan hanyalah sebuah alat penjelasan
sementara. Anda tidak tahu petir, katakan itu amarah Tuhan. Anda tidak
tahu tsunami, katakan itu cobaan Tuhan. Tuhan disini adalah pengisi
kekosongan sementara. Apa yang disebut orang sebagai God of the Gap.
Dan pernyataan Hawking adalah bahwa fisika sudah cukup maju sehingga
Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan dalam
kotak fenomena alam yang belum terjawab.
Di
sisi lain, para pemuka agama, memiliki perbedaan konsep mengenai
Tuhan. Agama kristen, jelas punya Tuhan yang berbeda dengan Agama
Islam. Belum lagi Agama Yahudi dan agama lainnya yang memiliki
Tuhannya sendiri-sendiri. Bagi mereka, Tuhan bukanlah alat, tapi tuhan
adalah udara. Syarat utama untuk hidup, syarat untuk bernapas.
Bila
anda belum mengerti perbedaan antara Tuhan yang dimaksud Hawking
dengan Tuhan yang dimaksud para ulama, saya bisa menawarkan analogi
disket dan Komputer. Tuhan bagi Hawking adalah disket. Buat apa disket
lagi sekarang kalau kita sudah punya flash disk atau hard disk
eksternal atau CD Writer yang kapasitasnya jauh lebih hebat. Lagian
disket sering terjangkiti dengan virus. Sementara bagi ulama, Tuhan
adalah komputer. Tanpa komputer, orang tidak akan terpikir menciptakan
disket, flash disk atau hardisk eksternal.
Tapi
ada kesamaan antara disket dan komputer. Keduanya sama-sama alat
elektronik. Sama halnya dengan Tuhannya Hawking dan Tuhannya orang
beragama, sama-sama dipandang sebagai pencipta Alam Semesta.
Sekarang,
bayangkan di atmosfer kita ada sebuah debu berwarna merah. Ada tak
terhitung debu di atmosfer kita. Sekarang bila kita tidak menemukan
debu demikian, apakah itu berarti debu tersebut tidak ada? Bisa saja
kita kurang teliti mencarinya, bisa saja kita hanya memakai sampel,
bukannya populasi, untuk membuat kesimpulan tersebut. Tapi bila
memang seseorang entah bagaimana berhasil menyapu bersih semua debu di
atmosfer dan mengumpulkannya, melihatnya satu-satu dan tidak
menemukan debu berwarna merah. Ini adalah bukti nyata kalau debu
tersebut tidak ada.
Ini
kembali ke pernyataan di awal paragraf : Bayangkan ada debu berwarna
merah di atmosfer. Ini kontradiktif dengan kalimat terakhir yang
mengatakan debu tersebut tidak ada. Bagi ilmuan, kalimat pertama di
atas adalah sebuah hipotesis. Sebuah dugaan semata dan bisa dihapus
oleh kalimat terakhir. Bagi orang religius, kalimat pertama adalah
fakta. Kalimat terakhir tidak dapat diterima karena kontradiktif
dengan kalimat pertama. Ini perbedaan antara agama dan Sains.
Sekarang
sains sedang berusaha menyapu bersih semua debu di atmosfer. Sains
memiliki sebuah tujuan, memahami dunia kita. Di bidang fisika, sebagai
ilmu yang mempelajari realitas, maka ini berarti menemukan sebuah
teori gabungan. Sebuah teori puncak. Sebuah sapu bersih terhadap debu
di atmosfer analogis kita. Bila sains menemukan teori puncak ini
apakah agama akan menerima seandainya sains membuktikan tuhan tidak
ada? Ataukah agama akan terus hidup dalam penafsiran celah-celah kecil
sekecil virus dalam teori segalanya?
Agama
selama ini berusaha mendapatkan dukungan sains. Tentang terbelahnya
laut merah, lapisan bumi, lapisan atmosfer, embriologi
manusia, terbelahnya bulan, dsb. Walaupun telah dibantah oleh sains
kalau itu salah. Tetap saja tafsiran-tafsiran baru bermunculan. Di
sisi lain, sains masih banyak punya misteri untuk dipecahkan. Dan
disinilah agama menyusup. Bisakah sains meramalkan kematian? Bisakah
sains menjelaskan tentang ini, tentang itu. Celah ini jelas semakin
lama semakin sempit.
Dua
milenium lalu sains tidak mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa
sakit, sekarang berbagai jenis anti virus serta segala jenis antibiotik
mencegah kita terkena infeksi kuman. Dua milenium lalu, agama
menawarkan penjelasannya. Orang sakit karena kutukan, karena dosa,
karena durhaka, karena cobaan tuhan, dsb. Bahkan sekarang masih ada
orang yang mengatakan kalau gempa disebabkan dosa.
Demikianlah,
agama seperti orang yang tidak punya harapan lagi, dan mengambil
remah-remah dari sains yang semakin gemuk. Mereka mengambil sedikit
ruangan kosong di halaman istana sains yang megah. Saat sang tuan
rumah keluar, penghuni halaman istana ini menunjuk mengatakan kalau,
hei lihat bajunya itu buatan kakek dari kakek ku dari kakekku, atau
hei, gorden istananya itu buatan sepupu jauh saya.
Sains
telah mengalahkan sebagian besar pertanyaan yang dulunya coba dijawab
oleh agama lewat dongeng dan fiksi. Masih ada pertanyaan seperti
darimana datangnya hukum fisika, apakah kita hidup di satu alam
semesta yang merupakan bagian dari sebuah multi jagad, dsb.
Dengan
perbedaan antara Tuhannya Hawking dan Tuhannya Agama, tampak kalau
titik temu tidak akan pernah tercapai. Sebagai contoh, David Wilkinson,
seorang ulama sekaligus astrofisikawan mengatakan adanya tiga ruang
kosong yang bisa menjadi celah adanya Tuhan dalam pernyataan Hawking.
- Tujuan Alam Semesta. Sains bisa menemukan mekanismenya, tapi masih ada pertanyaan mengenai apa tujuannya.
- Dari mana datangnya hukum fisika. Sains mempelajari hukum namun tidak mempelajari darimana datangnya hukum itu.
- Kecerdasan
di alam semesta. Albert Einstein pernah mengatakan bahwa yang paling
tidak dapat dipahami dari alam semesta ini adalah karena ia dapat
dipahami. Alam semesta begitu teratur, dan ini, menunjukkan ada
kecerdasan yang mengaturnya.
Richard
Dawkins, biologiwan besar, mengatakan bahwa ketiga celah yang
dikatakan David Wilkinson tidak perlu ada. Berikut detail
penjelasannya.
Tujuan Alam Semesta
Kenapa
mesti Alam Semesta memiliki tujuan? Apa tujuan dari gunung? Apa
tujuan dari tsunami? Apa tujuan dari wabah bubonik? Ini pertanyaan
yang konyol. Begitu juga dengan alam semesta. Banyak pertanyaan yang
masuk akal. Seperti bagaimana cara kerja sel syaraf? Apa nilai
keberlangsungan hidup darwinian dari ekor merak? Ada banyak sekali
pertanyaan yang masuk akal, yang berusaha dijawab sains selama ini.
“Apa tujuan dari X?” hanya masuk akal jika ada entitas bertujuan,
seperti manusia, untuk memiliki tujuan tersebut. Tsunami tidak
memiliki tujuan. Pertanyaan “Apa tujuan dari X?” tidak perlu dijawab
secara ilmiah. Namun pertanyaan semacam ini memerlukan keberadaan
agen. Anda tidak dapat menerapkan pertanyaan ini pada gunung
atau badai, atau tsunami atau alam semesta. Bahkan seandainya benar
alam semesta memiliki tujuan, lalu apa tujuannya? Apakah agama dapat
menjawabnya? Akan ada banyak jawaban. Agama Islam menjawab tujuannya
Islam, kristen menjawab tujuannya kristen dan yahudi menjawab tujuannya
yahudi. Belum lagi agama lainnya.
Asal Hukum Fisika
Bahkan
bila yang tersisa adalah pertanyaan ini, ia tidak akan dijawab oleh
keberadaan Tuhan, yang justru memunculkan lebih banyak pertanyaan
daripada jawaban. Hal ini memang seperti apa yang dilakukan ilmuan.
Sebuah penelitian seringkali memunculkan lebih banyak pertanyaan dari
jawaban. Saat anda mengetahui mengenai asal usul medan magnet, anda
bertanya tentang bagaimana mekanismenya di tingkat atom? Bagaimana
keselarasan bisa tercipta antara gerak atom dengan perwujudan makro?
Walau begitu, sains menarik karena memiliki banyak perangkat di
dalamnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, berbeda
dengan meletakkan Tuhan di tengah jalan.
Keteraturan Alam Semesta
Seperti
apa alam semesta yang tidak di atur dengan cerdas? Kenapa alam
semesta harus diatur dengan kecerdasan? Disini Dawkins membuat asumsi
kalau Tuhan memerlukan penjelasan, sama alasannya dengan bagaimana
anda menganggap alam semesta memerlukan penjelasan. Tapi Hawking
telah berusaha menjelaskan mengenai alam semesta, tinggal siapa yang
akan menjelaskan mengenai Tuhan. Apakah para ilmuan ataukah agamawan.
Tampaknya bila dilihat pada track recordnya, maka ilmuanlah yang
paling berhak.
Apa Manfaatnya Tuhan?
Hawking
berpendapat kalau sains akan menang terhadap agama karena sains
memang berhasil menyelamatkan hidup kita dari dulu. Tapi iman juga
demikian, setidaknya bagi orang miskin dan terbelakang. Hasil dari
survey di situs ini :
http://www.nytimes.com/2010/09/04/opinion/04blow.html?_r=3&ref=opinion
Ia menunjukkan kalau Indonesia adalah salah satu negara paling banyak
memiliki orang beriman, dan disisi lain, merupakan negara dengan
jumlah penduduk miskin yang besar. Bisa jadi agama yang membuat mereka
miskin, atau bisa jadi pula kemiskinan yang menjadikan mereka
beragama.
Bagi
orang yang merasa kemiskinan yang menjadikan mereka beriman, mereka
merasa mendapat sebuah lindungan. Saat sakit mereka berdoa dan merasa
nyaman, sebuah gejala psikologis. Terlepas dari apakah Tuhan ada
ataukah tidak. Di negara yang kaya, saat sakit seseorang tinggal
berobat ke dokter dan sains akan menyembuhkannya dengan mudah. Ia
tidak perlu berdoa karena merasa yakin sains pasti berhasil
menyelamatkannya.
Itulah
manfaat Tuhan selama ini. Ia menjadi pengisi celah psikologis, bukan
lagi pengisi celah sains. Ia ber evolusi menuju sebuah posisi yang
lebih sulit lagi dijamah sains, lewat kendala sumberdaya manusia,
ekonomi maupun politik.
Tentang
apakah sains membuktikan Tuhan tidak ada, itu kembali pada setiap
diri orang beriman. Seperti apa bukti yang mereka inginkan agar sains
dapat jelas dalam menunjukkan kalau Tuhan tidak ada.
Sumber :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=194902947204550